Jumat, 31 Agustus 2007

TERMINAL KESEKIAN

Puisi Nurani Soyomukti



kemana larinya bus-bus itu…

seorang gadis manis di dalamnya yang berkeringat bahkan tidak

bisa menjawab.

kemarin seorang wanita tua mencari anaknya yang diculik orang dari kota lain

tapi masih belum akan terungkap rahasia tentang siapa yang pertama kali memaksa

orang-orang harus banyak mengeluarkan keringat

darah

dan air mata

hanya seorang sopir tua yang paling dapat mengenali air mata es apukat

ditatapnya pula banyak kendaraan beroda empat yang berkeringat.

waktu itu tahun 1998,

awal Mei yang membuat orang dengan bebasnya membuat kesimpulan

tentang suara keroncongan dalam perutnya pada pukul 11 siang.

kini memang terpaksa seorang pengembara mampir kembali.

untuk mendengarkan kata-kata yang wajar untuk memperebutkan penumpang

Senin, bulan Maret 2005, mentari panas masih memantul di kening mereka,

keringat mengalir seperti solar yang harganya telah naik

“Segera akan terungkap siapa pelaku sejarah sebenarnya” bisik salah seseorang di sebuah

warung yang ingin menikmati nasi pecel ibu tua

yang harganya masih murah—dan itu adalah satu-satunya kesempatan hidup yang tersisa.

seperti terbayang dan terdengar kembali bisikan Lenin

yang seakan baru pergi naik angkutan yang keluar dari terminal itu lima menit sebelumnya.

dan memang terpaksa seorang pengembara harus pergi dari sebuah warung kopi

tiba-tiba ia kembali diperebutkan,

diseret oleh tiga orang kenek

bagai para elit yang masih berebut jabatan.

“Andai aku bisa membelah diri, aku akan membagi tubuhku menjadi tiga

dan akan kubiarkan saja mereka pergi ke mana saja…”, bisiknya.

dan mesin-mesin menderu lebih keras

menegaskan bahwa juga terjadi kenaikan bagi tarif angkutan

disesuaikan juga dengan harga beras.

—sebab, mulai siang itu, keringat semakin mengalir deras.


(Trenggalek, Maret 2005)

Tidak ada komentar: