Jumat, 31 Agustus 2007

PUISI UNTUK MEMBELA RAKYAT


Dicari, Penyair Kerakyatan!!

(Esai ini pernah dimuat di KOMPAS Jawa Timur)

Oleh: Nurani Soyomukti


Nama Pablo Neruda, seniman berasal dari Chili yang pernah mendapat penghargaan hadiah Nobel di bidang kesusastraan tahun 1971, mungkin terlupakan atau tidak diketahui. Pada hal seniman ini adalah salah seorang tokoh romantis yang kehidupannya diabdikan hampir sepenuhnya untuk masalah kemasyarakatan. Lahir pada tanggal 12 Juli 1904, di Parral dengan nama Neftali Ricardo Reyes Basoalto. Ayah Neruda adalah Don Jose del Carmen Reyes Morales, seorang buruh kereta api yang miskin. Ibunya Rosa Baoalto de reyes, seorang guru, yang mati akibat terkena TBC saat Neruda masih bayi.

Neruda menulis puisi sejak usia sepuluh tahun. Pada usia 12 tahun ia bertemu dengan seorang penyair Chili, Gabriela Mistral, yang juga pemenang penghargaan nobel sastra lainnya dari Chili pada tahun 1945. Sastrawan ini adalah Perempuan Amerika Latin pertama yang memenangkan nobel. Ia juga seorang kepala sekolah sebuah sekolah menengah atas di kampung halaman Pablo, yang mendorong Pablo untuk menekuni kebiasaan menulisnya.

Seniman seperti Neruda tentu saja saat ini menjadi agak langka. Jamannya barangkali telah berubah. Jaman pasar bebas telah datang, dikotomi seni dengan realitas seakan menghilang seiring menyeruaknya estetika pasar. Seni adalah pasar, pasar adalah Seni! Demikian mungkin kita bisa menggambarkan fenomena lain di era kontemporer sekarang ini. Seni pasar adalah seni terkomodifikasi yang membuat psikologi masyarakat mengalami estetisasi yang dicerminkan oleh sebuah mekanisme dari sarana-sarana produksi, reproduksi, dan distribusi. Seakan menegaskan ungkapan Hegel dulu, bahwa seni yang dibicarakan di dalam pengertian elitis telah berakhir pada karya-karya agung pada massanya. Sebabnya adalah merajalelanya seni populer (iklan, sinetron, televovela, dll) dan terbenamnya seni elit atau seni tinggi (high art), bahwa seni adalah untuk seni.

Akan tetapi tempat seni kerakyatan tidak berada baik di seni elitis ataupun seni populer.

Membicarakan seni dan sastra tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur yang eksis seperti ekonomi, politik, teknologi, maupun agama. Memandang seni secara terpisah dari kekuatan ekonomi-politik akan membuat diri kita lupa bahwa seniman adalah orang yang mendapatkan gagasannya dari kehidupan sehari-hari. Dari masyarakat pasar sekarang ini, kita bisa belajar bahwa seni dan sastra dalam banyak hal diabdikan untuk kepentingan komersialisasi. Sebenarnya hal itu adalah suatu hal yang menjadi kecenderungan sejarah dari perjalanan seni itu sendiri. Pada jaman kerajaan seni juga digunakan untuk melembagakan adat dan paham yang menguntungkan kaum bangsawan, tuan tanah, dan raja-raja. Mulai dari sastra, dongeng, pahatan patung, lagu-lagunya, semuanya digunakan untuk menyebarkan kepercayaan pada rakyat jelata bahwa “raja adalah wakil Tuhan” dan rakyat hanyalah hamba yang harus berbakti pada raja-raja dan bangsawan.

Dalam masyarakat pasar sekarang dimana seni pop yang mencerminkan ekspresi dan gagasan ide kaum elit pasar, estetisasi kehidupan sehari-hari yang ditransmisikan melalu media-media telah melenakan kesadaran massa tentang hilangnya nilai-nilai seni yang lebih mencerminkan kebutuhan objektif dari masyarakat. Bahkan hal yang sama juga menjangkiti kalangan seniman yang “gagap” untuk menguak sisi lain dari dekadensi masyarakat pasar dan memberikan penyadaran pada rakyat yang tersingkir dari hubungan sosial pasar bebas. Para seniman bahkan tidak sanggup menggapai kontradiksi yang ada dalam masyarakat, menguaknya, dan memberikan obat dari luka yang ada.

Kegiatan seni di luar pagar seni pop pun masih tergantung pada dana dan proyek—atau uluran tangan dari birokrasi ataupun pemilik modal. Tentu saja sangat jauh untuk ‘ngomong’ komitmen tentang kerakyatan. Seniman didorong untuk menguak realitas guna menggali ide bagi kata-kata, lukisan, ataupun gerak dan suaranya sebagai karya yang tidak lepas dari konteks kehidupan. Sementara basis material masyarakat melahirkan ide-ide yang lahir dari kelas yang berkuasa tetapi menindas mayoritas rakyat.

Dalam hal ini kita terperangah oleh menyeruaknya seni dan sastra populer yang terkomodifikasi, yang pemihakannya pun tegas dan jelas—yaitu seni yang lahir dari ideologi para elit pasar bebas. Seni itu telah mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga seni itu tersebar luas. Jadi dalam aspek tertentu salah kalau dikatakan bahwa masyarakat kita semakin jauh dari kehidupan seni. Masyarakat kita sedang mengalami estetisasi, yaitu apa yang disebut Jameson (dalam Budiman, 2002) sebagai “estetisasi kehidupan sehari-hari”. Dikatakan menyeruak karena ide-ide dan rasa yang dipengaruhi oleh seni pasar tiap hari menjadi konsumsi masyarakat mulai dari sinetron, telenovela, cerita-cerita di tabloid, dagelan pop, lagu-lagu pop, dan lain-lain—yang dalam banyak hal lebih mempengaruhi batin masyarakat hingga mereka lupa akan realitas kebutuhannya serta penjelasan-penjelasan ekonomi-politik dari kondisinya dalam kelas-kelas sosial.

Akan tetapi yang perlu dicatat bahwa estetika pasar itu lebih berguna sebagai cara para elit pasar untuk melanggengkan penghisapannya. Caranya adalah meniadakan ruang kesadaran masyarakat akan realitas riilnya, supaya budaya konsumtif menyebar dan pasar menjadi hidup.

Itulah tantangan konkrit di masyarakat yang menuntut lahirnya seniman-seniman yang tidak hanya berpihak pada modal, tetapi juga menyadarkan masyarakat bahwa di bawah hegemoni pasar bebas mereka harus memiliki rasa dan ide sendiri untuk kemudian merubah sistem yang diarahkan pada keadilan sosial. Tugas seniman kerakyatan, dengan demikian adalah mengangkat harkat dan martabat kaum miskin atau rakyat kecil agar mereka tidak hanya menerima tema-tema artis-selebritis yang terus saja membuat karya seni sesuai dengan ide dan rasa mereka.

Tugas tersebut akan sampai pada konsekuensi-konsekuensi berupa pendalaman konsepsi seni yang berpihak pada rakyat miskin. Bahkan dalam hal tertentu berani mengambil resiko ketika mereka menguak luka-luka yang ada di masyarakat.

Seniman sebagai bagian dari intelektual yang sejati tidak hanya mengeksploitasi realitas untuk kepentingan diri dan mengabdi pada kebiasaan-kebiasaan yang melanggengkan penindasan dan menipu realitas. Seniman yang hanya mengeksploitasi realitas untuk diangkat dan menguntungkan dirinya tidak akan sampai pada analisa dan pengetahuan objektif tapi hanya bermain kata-kata baik dalam karya, pembicaraan maupun tulisan-tulisan; Selain itu mereka mendapatkan keuntungan dengan cara mengeksploitasi realitas sebagai bahan yang dijadikan ide karyanya, dibicarakan dan ditulisnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dengan demikian mempertahankan penindasan yang hanya digunjingkannya (bukan dirubahnya) untuk menegaskan posisi ‘ intelek’-nya—yang kedua ini dinamakan oleh Rendra sebagai “seniman salon”.

Belajar dari Pablo Neruda, kita bisa menyimpulkan bahwa tugas seniman kerakyatan harus berpihak. Tulisnya dalam pidato yang dibacakan dalam penyerahan Hadiah Nobel pada 13 Desember 1971: “… dengan menyentuh konsekuensi-konsekuensi esktrim tugas kepenyairan… saya menegaskan bahwa sosok saya dalam masyarakat dan di hadapan kehidupan adalah sosok yang dengan cara sederhana memilih berpihak. Saya memilih demikian ketika saya menyaksikan begitu banyak kemalangan yang bermartabat, kejayaan yang sunyi, dan kekalahan yang aku… tugas kemanusiaan saya adalah bergabung dengan…kegidupan dan jiwa yang akrab dengan derita dan harapan. Sebab hanya dari arus besar rakyat inilah perubahan yang diperlukan muncul, demi sekian pengarang dan demi bangsa. Dan seandainya sikap saya ini melahirkan penolakan yang sengit atau keberatan yang bersahabat, yang jelas saya tidak bisa menemukan cara lain bagi seorang pengarang di negeri kami yang teramat luas dan kejam. Itulah cara paling sederhana jika kita ingin membagi perhatian kepada berjuta-juta rakyat yang tidak pernah belajar membaca apa yang kita tulis atau bahkan tidak membaca apapun sama sekali, yang tidak bisa menulis apalagi menulis kepada kita. Keberpihakan merasa saya berada di rumah sendiri di kawasan terhormat ini dan tanpa itu mustahil bagi kita untuk menjadi manusia utuh…Kami mewarisi kehidupan rakyat yang merana ini, yang menyeret-nyeret beban kutukan selama berabad-abad, rakyat yang paling mempesona, paling murni, yang dengan bebatuan dan logam mereka ciptakan menara yang menakjubkan dan berlian yang memukau kilaunya rakyat yang mendadak-sontak dirampok dan dibungkam di zaman gelap kolonialisme yang masih membekas hingga kini.”

Neruda adalah salah satu penyair dan seniman yang menambatkan pilihannya untuk memihak mereka yang lemah dan selalu kalah, dan itulah yang menurutnya adalah tugas seorang penyair. Ia tidak mau kalau hanya bermain kata-kata, tetapi harus memahami bagaimana darah orang miskin mengalir, bagaimana degupan jantung mereka setelah pulang kerja tetapi hasilnya tidak sebanding dengan keringat yang mereka keluarkan, bagaimana nyanyian-nyanyian alami yang berasal dari irama musik dalam perut orang kelaparan. Itulah sebabnya kenapa Pablo Neruda memutuskan untuk ambil bagian dalam proses perubahan di Chili, sebuah negeri yang terbelakang tetapi yang dalam pandangannya sedang merangkak menuju sejarahnya yang cerah justru ketika Pemerintahan Allende yang anti penjajahan asing naik.

Tetapi Neruda juga menyaksikan bahwa musuh perubahan tengah menginginkan perubahan gagal. Jenderal Pinochet melakukan kudeta dengan nama sandinya “Operasi Jakarta” tepat pada tanggal 11 September 1973 , sebuah kudeta yang dikabarkan meniru cara Soeharto di Jakarta Indonesia . Tapi Neruda dan rakyatnya telah mencoba berjuang meskipun hasilnya digeser mundur. dIa telah menghasilkan banyak puisi dan tulisan-tulisan sastra—Dia telah mendapatkan Nobel sebagai penegasan terhadap kepenyairannya di dunia.

Itulah seniman kerakyatan, yang terus konsisten menyuarakan suara-suara rakyat. Bahkan menjelang kondisinya yang semakin memburuk, ia lantunkan puisinya saat ia dikucilkan dari kehidupan: “Aku pulang ke laut di bungkus langit, kesenyapan antara dua gelombang, menciptakan tegangan wingit, kehidupan mati, darah berhenti, lalu gerak baru mengembang, dan suara ketak-berhinggaan kembali berkumandang”.

Dalam puisinya itu, Neruda yakin bahwa akan lahir penyair-penyair baru yang lahir dari kondisi masyarakat yang dalam hal ini menyuarakan suara-suara rakyat miskin dan tertindas. Neruda di akhir hidupnya menunggu seniman-seniman dan para penyair yang lahir dari kondisi objektif masyarakat untuk memajukan sejarah yang berpihak bagi rakyat dan martabat bangsa, bukan seniman-seniman seperti sekarang yang tergantung sepenuhnya pada modal, kekuasaan, serta karier. Seniman seperti itulah yang akan menjamin terbangunnya kesenian rakyat yang sejati, bukan dangkal seperti sekarang ini.***

Tidak ada komentar: