Selasa, 28 Agustus 2007

Dari LOMBA BACA PUISI WIDJI THUKUL UNTUK KAUM BURUH



Sastra Buruh, Sastra Perlawanan!

Oleh: Nurani Soyomukti

Beberapa waktu lalu, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesaia (FNPBI) dan Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) mengadakan Lomba Baca Puisi Widji Thukul untuk Buruh. Lomba ini diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT-RI ke-62 dengan serangkaian acara lain seperti pemutaran film perlawanan (Venezuela, Marsinah, Sendal Bolong untuk Hamdani) yang puncak acaranya adalah Apel Akbar Buruh yang diadakan FNPBI Jakarta Utara.

Saya, sebagai salah satu dewan juri, memberikan apresiasi yang sangat positif. Meskipun pesertanya tidak dapat dikatakan besar, sekitar 20-an orang (buruh), kegiatan ini cukup menggembirakan karena—dalam hidup saya—baru kali ini menyaksikan secara langsung dan terlibat pembacaan puisi-puisi oleh buruh. Nuansanya tentu saja lain, dengan momen saat Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka, WS Rendra, atau siapapun yang membacakan sajak. Pertama, gawe ini diadakan bukan di gedung-gedung atau ruangan (indoors) yang mewah, tetapi di perkampungan buruh dan rakyat miskin—di halaman yang (agak) luas dia mana para penonton, peserta, dan dewan juri (termasuk saya) duduk di tanah beralaskan terpal.

Kedua, peserta dari lomba ini adalah buruh dan kebanyakan adalah buruh perempuan (kebanyakan dari mereka berasal dari Kawasan Berikat Nusantara/KBN Cakung); dan yang dibacakan adalah puisi Widji Thukul dan juga karya-karya para buruh itu sendiri. Panitia mewajibkan peserta untuk membacakan satu puisi Widji Thukul dan satu karyanya sendiri. Sungguh menggembirakan, karena hasilnya adalah penjiwaan yang boleh dikatakan kuat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa puisi-puisi Widji Thukul memang merupakan puisi yang melekat dengan kisah buruh dan rakyat miskin itu sendiri.

Ketiga, pada akhirnya saya benar-benar melihat bahwa seni-sastra memang harus didekatkan pada siapapun termasuk kalangan yang selama ini termarjinalkan, yaitu buruh sebagai mata ranti tertindas dari hubungan produksi kapitalis. Seni-sastra bukan hanya harus dimassalkan, tetapi juga harus memperkuat dan memperindah ‘iman’ perjuangan kaum buruh itu sendiri. Sebagaimana seni-sastra kapitalis selalu memperkuat ideologi dan tatanan material kapitalisme, maka seni-sastra buruh juga niscaya mengekspresikan kepedihan nasib buruh dan menguatkan perjuangannya menuntut keadilan.

Ayo Bangun Sastra Buruh!

Kecenderungan manusia untuk mengekspresikan diri dalam sebuah karya sastra bersifat universal selama ada kondisi yang memungkinkannya untuk berkarya. Entah merupakan genre baru atau bukan, keberadaan sastra buruh dalam dunia kesusastraan Indonesia akhir-akhir ini telah diakui oleh para pengamat sastra. Lahirnya sastra buruh migran, misalnya, ditandai dengan diterbitkannya karya sastra oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ada di negara lain, terutama tenaga kerja wanita (TKW).

Jelas bahwa dalam hal ini sastra buruh migran bukanlah istilah untuk menyebut karya sastra yang mengisahkan kehidupan buruh migran tetapi ditulis orang lain. Sastra buruh migran merupakan karya sastra yang ditulis oleh buruh migran sendiri—tepatnya para sastrawan/sastrawati itu adalah sang buruh sendiri.

Hal ini merupakan sebuah kemajuan karena selama ini banyak sastra yang mengisahkan tentang persoalan buruh tetapi bukan ditulis oleh orang lain seperti penulis atau sastrawan yang statusnya akademisi, aktivis sosial-politik, jurnalis, dan lain-lainnya. Sejak jaman pergerakan telah muncul sastrawan yang menempatkan rakyat miskin dan buruh sebagai lakonnya, misalnya Mas Marco Kartodikromo, AM Dg Myala, Armijn Pane, Subagyo Sastro Wardoyo, Gunawan Muhammad, Sapardi Joko Damono, Hartojo Andangdjaja, WS. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lainnya. Tetapi mereka bukan berasal dari kalangan buruh secara murni. Barangkali nama Widji Thukul-lah yang memang berasal dari kalangan buruh atau rakyat miskin, tetapi ia juga terlibat dalam gerakan perlawanan politik bersama PRD (Partai Rakyat Demokratik), demikian juga Pram pada tahun 1996.

Sastra tentang dunia perburuhan dan ditulis sendiri oleh buruh nampaknya memang masih langka. Setelah Widji Thukul, sebenarnya keberadaan sastra buruh pernah diramaikan oleh kedatangan nama-nama seperti Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri, Jumari HS, dan Yudhi Ms. Pada bulan Mei 2005 mereka membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM) bersamaan dengan acara “Festival Kesenian Buruh”. Mereka adalah para buruh atau orang yang pernah menjadi buruh tetapi beralih ke profesi lain, terutama penulis. Hal yang sama nampaknya juga akan terjadi pada buruh migran yang pada akhirnya juga harus menggeluti dunia kepengarangan atau sastra.

Yang pasti melalui hubungan semacam ini dunia kesusastraan juga dapat diisi oleh mereka yang masih punya komitmen sosial untuk membela kaum tertindas terutama buruh, rakyat pekerja, dan kaum miskin. Di tahun 1990-an, seiring dengan gerakan demokrasi dan HAM, serta bangkitnya perlawanan buruh, memang melahirkan sastra buruh—baik yang ditulis oleh buruh sendiri maupun mereka yang ingin memperjuangkan nasib buruh. Sepuluh tahun yang lalu, Aris, Husnul, Jumari, dan Yudi adalah buruh pabrik, bahkan pabrik yang sama. Setelah di-PHK, Aris, misalnya, kini menjadi reporter media internal dan penerbitan buku—artinya terjun ke dunia literer. Tetapi komitmen perlawanan mereka telah terbentuk sejak mereka menjadi pihak yang ditindas oleh negara dan majikan. Jumari, misalnya, di tahun 2005 menuliskan puisi yang sangat estetis sekaligus menguak nasib buruh pabrik rokok. Ia menuliskan dalam puisinya yang berjudul “Tarian Keringat Perempuan Penggiling Rokok”—bait pertama berbunyi: //Sutri, di dalam lintingan rokok itu/kutemukan keringatmu bersembahyang/Dengan embun dan matahari/ Menetes-neteskan gairah/Membeningkan air mataku dalam bercermin/Melihat keikhlasan

Sebaiknya tetap kita pahami bahwa kemampuan mengekspresikan diri dalam sebuah karya sastra adalam kemajuan dalam sejarah diri manusia. Ia menjadi penyalurah positif dan kreatif, dari pada menenggelamkan diri dalam ketundukan dan kepasrahan nasib yang menguntungkan orang lain (para penindas) atau melampiaskannya dalam bentuk kekerasan atau kejahatan. Berkarya adalah bentuk kemandirian pada diri manusia; dan mencipta adalah hakekat sejatinya.

Semakin banyak para buruh—baik buruh pabrik maupun buruh rumah tangga yang kebanyakan (di negeri ini) adalah buruh migran—menyalurkan kreatifitasnya, kesadaran dan kemandiriannya juga akan tumbuh, pada akhirnya akan menjadi kekuatan demokrasi yang maju. Oleh karenanya, pendidikan buruh yang banyak dilakukan oleh paraa aktivis selayaknyalah juga harus memacu kemampuan literernya. Buruh menulis pengalaman mereka sendiri memang pernah didorong oleh organisasi buruh SOBSI dan Sarbupri pada zaman pemerintahan Soekarno, dan untuk kalangan tani di Jawa Tengah pernah dikembangkan oleh Lekra. Sayangnya usaha ini terpotong oleh meletusnya Tragedi Nasional September 1965.

Fortunately, sastra buruh migran nampaknya lebih maju dibanding buruh non-migran atau buruh manufaktur. Melalui wadah-wadah dan organisasi kemampuan berseni-sastra diasah baik dari aspek literernya maupun aspek filsafat kemanusiaannya karena sastra bukan hanya masalah penggunaan tulisan, tetapi juga masalah apa yang ingin disampaikan pada masyarakat—sastra adalah tulisan dan muatan kemanusiaan.

Bagi buruh migran, pertumbuhan dunia sastra di kalangan BMI itu diikuti oleh munculnya komunitas-komunitas sastra yang mewadahi mereka. Di Hongkong, misalnya, saat ini sedikitnya ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Yakni Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de Kosta yang dikomandani Ida Permatasari. Mereka telah membuktikan diri dengan bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan. Dan dunia sastra Indonesia memang harus menyambutnya.

Inilah pekerjaan rumah bagi kita untuk membangun sebuah gerakan kebudayaan agar buruh di Indonesia juga mampu mengakses kegiatan seni-sastra. Kita buktikan bahwa untuk berkesenian dan berkesusastraan itu tidak mahal sebagaimana karya-karya komersial yang digunakan untuk meraup keuntungan. Buruh dan rakyat miskin harus didorong berseni-sastra agar mereka juga mengalami keindahan dunianya, bukan keindahan penderitaannya karena ilusi keindahan borjuis, tetapi keindahan dan kekuatan perjuangannya menghadapi kontradiksi dan penindasan yang menderanya.***

Tidak ada komentar: