Senin, 17 Desember 2007

Happy Heppy Salma


jam sebelas siang yang ingin dimangsa matahari adalah orang yang merasa sepi
ia berdiri
seratus meter di hadapanku: waktu itu

"Dia Nyai Ontosoroh, wanita jaman pergerakan, Ibunya Minke seorang anak bupati feudal yang mengenal kata kata juang, menguak hipokrisi dan hina dina mental penjajahan", bisik Kawanku.

"O, jadi dia Sanikem, seorang anak Sastro Cassier yang menjual kehormatan demi uang... Hmmm, dia nampak lebih matang dari perempuan dalam periode kapan saja", tukasku.

"Dia Heppy Salma".

"Iya, aku tahu", jawabku, "memang kenapa?... Aku pandang dia sebagai Nyai Ontosoroh".


Sebulan kemudian.
Siang lebih menyukai ratusan manusia berjalan dengan tubuh terbakar membawa bendera merah, mengepung istana negara, membentangkan spanduk perlawanan.
Dua orang perempuan cantik membentangkan poster:

TOLAK POLIGAMI!!
NEGARA WAJIB LINDUNGI KAUM PEREMPUAN DAN ANAK!!!

Matahari hampir meledak karena setiap suara suara itu kini terus saja terdengar....

(Puisi Nurani Soyomukti): PERGANTIAN TAHUN

pergantian tahun

suasana malam, terutama bintang yang berbaris di angkasa
menghempas kejemuan dan melahirkan spaneng pikiran
lalu muncul kata-kata menari di antara bercak-bercak bayangan abad-abad yang lalu
yang dengan cepat dapat kutinggalkan
dan dengan cepat pula aku tenggelam memasuki keremangan
angin masih dapat menerpa pucuk pohon rambutan
dan kabar dari seorang kekasih masih belum dapat kupindahkan
pada hal jika aku bercakap-cakap dengan bulan,
sepi dapat dengan sopan
permisi dari sini.

cepat atau lambat
pergantian tahun hendak memberi kesan
atau kesanggupan.

(Lenteng Agung, Des 2007)

BALADA CIUMAN

Puisi Nurani Soyomukti:

/1/

Kekasihku,
Dan malam itu,
malaikat-malaikat Cinta tidak bisa berbuat apa-apa
ketika bulan menggigit bibirnya sendiri.
Hujan rintik-rintik dan udara cukup hangat,
dan tak ada lagi yang perlu ditunda saat waktu menunjukkan jam yang tepat.

Yang bernama gairah percintaan tidak mungkin dibunuh dalam sekejab
—atau akan meledak dengan sendirinya di dadamu meluluhlantakkan benih-benih
kejujuran dan keterusterangan di dalamnya—

sebab temali rindu berujung dan berpangkal
pada suatu yang memancarkan kekuatan yang kita sebut “Keinginan”.
Ketakutan yang dipelihara akan memperpanjang daftar kekalahan

di hatimu,
kadang berubah jadi penyangkalan pada kenyataan,
dan bahkan kadang berubah jadi dendam yang sulit dijelaskan...

Dan tiada yang dapat disalahkan
karena tidak ada yang berani menyatakan kerinduannya sejak awal.


/2/
Kekasiku,
Dan rindu bukanlah suatu keindahan di awang-awang,
Malam ini ia kita tanggung dalam hati kita.
Perasaan kita mengandung perasaan yang sulit diungkapkan.
Dan saat bibir itu dengan mudah menyatu dan memagut,
kita kan membayar hutang atas kemunafikan dan kebohongan hati kita...
dan memang belum tentu segera lunas,
karena kita masih takut untuk membebaskan diri dari beban-beban yang lain...

Pada hal tingkat tetinggi dari cinta adalah perlawanan
sebelum dia membebaskan kita membawa keindahan tertingginya.
Perjuangan membebaskan pikiran dari belenggu kebodohan dan kemunafikan,
tapi juga yang berakar pada kondisi tubuh dan lingkungan kita
yang centang perenang.

/3/
Tapi mereka yang paling munafik sekalipun
tak mungkin mengusir Adam dan Eva yang memiliki firdausnya hari itu!

/4/
Kekasihku,
Ketika aku tiba-tiba menghadapkan wajahku ke wajahmu
dan merapatkan bibirku pada bibirmu yang masih kuncup—
dan akan segera mekar!—,
maka anggaplah bahwa aku adalah malaikatmu
yang mengabarkan cara pembebasan diri dari belenggu tubuh,
otak,
dan jiwa yang terpasung kepahitan masa lalu,
dendam dan kelicikannya.
Maka dengarkan aku ketika kubisikkan kata-kata di kupingmu

yang juga ingin kupagut: “Sayang, Cinta tidak tersusun dari batu-batu beban yang
memenuhi taman otak dan hatimu.
Keindahan tak akan tercapai jika dikau tak mampu menyingkirkan
rumput-rumput liar dan menanami sendiri tamanmu dengan kegairahan.
Tidak mungkin kita akan menuju pada cinta tanpa mengalami kesedihan
dan kebahagiaan yang ditanggung bersama.”

/5/
“Kelak, ketika banjir menghanyutkan taman yang kita rawat,
kita akan mendayung sebuah perahu dan kita temukan pulau
di mana kita bisa bercinta di sana, melahirkan anak dan
melahirkan peradaban baru.”

/6/
dan aku akan membayar semua kehidupan atas pelampiasan tak bernama ini.
Satu demi satu kecupan akan menjadi tonggak peradaban seabad kemudian.
Dan biarlah,
masih akan terkenang
Tentang buah Kuldi
oleh para peracik gatra-gatra,
saat dunia kita nobatkan sebagai puisi
yang berbuah ketahumenahuan dalam setiap rasa cinta dan benci!.

(Jember, ............)

Jumat, 23 November 2007

Dari Bedah Buku "REVOLUSI BOLIVARIAN" NURANI SOYOMUKTI di FISIPOL Universitas Jember, Kamis 15 November 2007


SELESAI SUDAH...


Selesai Sudah


Tidak ada yang bisa baca pikiranku,

meski kau kecup keningku malam itu, pada malam yang berjelaga

tubuhku telah menguap

kebarakan kamarkamar pada persetubuhan tahuntahun sebelumnya..


Atas nama CINTA: Cuma

Atas nama Martabat: Jika

Atas nama Laknat: Maka,


Aku ada di setiap sejarah

yang menolak puingpuing kemunafikan manusia

Aku telah merambat lewat kabel tilpun

mendekam di kulkas

untuk mendeteksi jenis peradaban ini...


Lalu kau seakan menawariku Cinta hari itu,

pada sebuah detik yang tegang karena kau hanya tahu bahwa hidup terdiri dari satu: melayani besi

memoles wajah dengan bedak agar, atas nama kerja peradaban, dirimu terbeli masa depan

yang diajarkan pada orangtuamu saat engaku kelas satu,


yang masih belajar mengeja namanama

apa dan siapa

bagian dari hidup yang mampu menuntaskan fase oralmu...


lalu aku mengajarimu namanama orang-orang besar

juga orang orang yang paling menakutkan...


Ada jarak antara kita,

kaupun mondarmandir keliling kota saat kuputus cintamu

mencaricari namanama lakilaki itu,

yang menuntaskan kegundahan malammalammu yang panjang...


Kini kau pergi karena sesuatu yang telah pasti,


atas nama Martabat: kaupun menjadi MANAJER BESI BESI!!!



Yogyakarta, 24 Nov 2oo7

Kamis, 06 September 2007

KEINDAHAN, AKU MENCARIMU!

Puisi Nurani Soyomukti



Keindahan,

Aku mencarimu

Piala yang kuperebutkan dengan cara bertarung

Melawan kesia-siaan.

Kuraih dirimu saat kuterjaga saat kubermimpi

Kudapati kau kugapai kau kukejar kau

Wahai nuansa hidup yang melingkar dalam repetisi keinginan

Kueja kau dalam bait-bait,

Kususun kau bersama perlawanan mengenyahkan kebuntuan

Kunamai kau kuldesak

Karena katakata sesak pada bait terakhir yang terdesak.

Aku ingin memujamu dengan kata yang panjang,

tapi kau hanya menari di angan.

Oh, kubertemu kau dalam mimpi

Kuadukan padamu kenapa kau hanya

sering menyeruak dalam kerinduan pada Kekasih tercinta.

Kuadukan padamu ucapan Tuan Tardji bahwa

aku harus menemuimu hanya pada katakata

dan bukan derita dan bukan dogma dan angkara.

Pada hal kau sering menjumpaiku pada rindu

pada angkara

pada rasa

pada makna

Yang cukup mengerti dari mana asalnya.

Aku hanya ingin mengadu, wahai Keindahan!

Engkau jangan kejamkejam dan diam saat pengertianmu

diperkosa dengan bahasabahasa yang kau sendiri tak paham

biarkan dirimu tidak hanya datang pada proses manipulasi jiwa

biarkan dirimu tidak hanya tiba pada saat repetisi nuansa

perpisahan dan perjumpaan tanpa tetes air mata.



Jakarta, September 2007

Jumat, 31 Agustus 2007

TERMINAL KESEKIAN

Puisi Nurani Soyomukti



kemana larinya bus-bus itu…

seorang gadis manis di dalamnya yang berkeringat bahkan tidak

bisa menjawab.

kemarin seorang wanita tua mencari anaknya yang diculik orang dari kota lain

tapi masih belum akan terungkap rahasia tentang siapa yang pertama kali memaksa

orang-orang harus banyak mengeluarkan keringat

darah

dan air mata

hanya seorang sopir tua yang paling dapat mengenali air mata es apukat

ditatapnya pula banyak kendaraan beroda empat yang berkeringat.

waktu itu tahun 1998,

awal Mei yang membuat orang dengan bebasnya membuat kesimpulan

tentang suara keroncongan dalam perutnya pada pukul 11 siang.

kini memang terpaksa seorang pengembara mampir kembali.

untuk mendengarkan kata-kata yang wajar untuk memperebutkan penumpang

Senin, bulan Maret 2005, mentari panas masih memantul di kening mereka,

keringat mengalir seperti solar yang harganya telah naik

“Segera akan terungkap siapa pelaku sejarah sebenarnya” bisik salah seseorang di sebuah

warung yang ingin menikmati nasi pecel ibu tua

yang harganya masih murah—dan itu adalah satu-satunya kesempatan hidup yang tersisa.

seperti terbayang dan terdengar kembali bisikan Lenin

yang seakan baru pergi naik angkutan yang keluar dari terminal itu lima menit sebelumnya.

dan memang terpaksa seorang pengembara harus pergi dari sebuah warung kopi

tiba-tiba ia kembali diperebutkan,

diseret oleh tiga orang kenek

bagai para elit yang masih berebut jabatan.

“Andai aku bisa membelah diri, aku akan membagi tubuhku menjadi tiga

dan akan kubiarkan saja mereka pergi ke mana saja…”, bisiknya.

dan mesin-mesin menderu lebih keras

menegaskan bahwa juga terjadi kenaikan bagi tarif angkutan

disesuaikan juga dengan harga beras.

—sebab, mulai siang itu, keringat semakin mengalir deras.


(Trenggalek, Maret 2005)