satu ketololan lagi jaman memahati mimpi
pepohonan di pinggir-pinggir jalan
didatangkannya bala bantuan dari raungan anak-anak malam yang berkendara
digratiskannya lagi karcis pertandingan sepakbola
sebab hidup ini seharusnya gratis, katanya, yang sejam kemudian juga dikabarkan di siaran-siaran infotainmen, sinetron, dan pertandingan tunda
seperti gambar saja rambut anak-anak itu
dan angin mengecatnya
dan satu pleton lagi, bintang demonstrasi di langit dini hari
satu ketololan lagi jaman memahat mimpi
telah lupa ia kulelehkan mulutnya sesudah lama menunggu
sebelum kabut hadir di ingatannya
setelah itu aku sempat terbuai dengan bibir-bibir jalan
yang manis. Aku membawanya lari yang ternyata bayang-bayangku sendiri,
saat badai kencing di paritnya; dan pohon pohon itu berpaling ke arah gunung
ia pun lupa telah kucerai nafasnya saat aku tak sanggup menjadi penunggu musim seorang diri
langkahnya tenggelam tiap waktu
lalu kabut membaju, dan kini kukenakan dalam mimpiku.
(Trenggalek, Februari 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar