Senin, 27 Agustus 2007

PUISIKU PUISIMU MENGHADAPI GLOBALISASI PASAR BEBAS

Esai Nurani Soyomukti
Benarkah perkembangan sastra dan peradaban kata-kata kita mengalami suatu kemajuan?
Pertanyaan itu dapat dijawab dari berbagai macam sudut pandang. Kalau kita menengok dari kemajuan teknologi yang berkembang, memang saat ini relatif mudah untuk melakukan aktivitas-aktivitas seni-sastra. Sekarang ini, misalnya, teknologi komunikasi seperti telpon seluler (HP) dapat merangsang sebagian pemakainya untuk mengirimkan puisi atau kata-kata “indah” melalui sms (short massage service). Bukan berarti rangsangan estetis dengan serta merta datang dari kemajuan teknologi, meskipun dalam sejarahnya kemajuan kesusatraan berbarengan dengan ditemukannya teknologi seperti mesin cetak dan teknologi penerbitan/percetakan.
Modernisasi kapitalisme sekarang ini semakin rumit dan kompleks perkembangannya. Potensi estetis juga dapat muncul dari perasaan manusia yang dibentuk baik karena kekecewaan maupun kebahagiaan dalam merespon realitas yang berkembang.
Betapa sulit mendatangkan dan memiliki negative capability, yaitu kemampuan untuk selalu berada dalam keadaan ragu, tidak menentu, dan misterius tanpa mengganggu keseimbangan jiwa dan tindakan cinta yang dipercaya dan disetujui bersama. Jika kita peka, hanya fikiran dan hati kitalah yang selalu diliputi keresahan (yang harus dijawab bersama-sama). Tingkat tertinggi dari cinta, sebetulnya, adalah bahwa suatu yang dianggap rendah (oleh orang lain yang tidak punya jiwa estetis) dan dianggap tidak memiliki nilai dapat menjadi suatu hal yang berarti. Seperti ungkapan TS. Elliot: “Things base and vile, holding quality/love can transpose to form and dignity.”
Demikianlah adanya, kesulitan ini tentu saja akan terus berada dalam lakon kapitalisme yang menyebarkan homogenisasi budaya, homologi pemaknaan, bahkan perasaan yang disamakan dari sudut estetika, yaitu estetika pasar seperti sekarang ini. Akibatnya, negative capability seperti itu belum seluruhnya diraih oleh manusia.
Manusia seperti itu tidak mau berpikir dan berfilsafat tentang kehidupan. Pada hal mahkluk manusia akan mampu menjadi manusia kalau ia mau berpikir dan berfilsafat, tentang diri-sendiri, lingkungan sosialnya, serta hubungan-hubungan di dalamnya yang kompleks.
Dalam corak masyarakat pasar bebas sekarang, ideologi-ideologi yang berwatak kapitalistik turut memperkuat cara berpikir masyarakat seperti pragmatisme, oportunisme, dan pemujaan kemewahan akibat gerak modal. Wacana-wacana yang berkembang, seperti wacana seksualitas, humor, politik, dan sebagainya, turut mengokohkan jaringan kapitalisme yang semakin melebar dan mendalam. Di sini bahasa-bahasa dikembangkan untuk “melatahkan” sistem kapitalisme itu sendiri, berkembang di masyarakat dan membangkitkan imajinasi yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan; dan lambat laun akan menjadi ideologi.
Bahasa adalah simbol yang akhirnya membentuk citra. Menurut Djamaluddin Malik dan Subandy Ibrahim (1997: 61), keistimewaan bahasa adalah karena kehadirannya dalam jagad makna yang bisa digunakan untuk “membahasakan” simbol-simbol yang lain. Bahasa yang telah terkontrol dan distandardisasi ini pada gilirannya menjadi instrumen kontrol perilaku dan jagad makna yang membangunkan kesadaran kita terhadap realitas sosial-politik yang ada.
Dalam ruang-waktu di mana bahasa bertebaran, dan wacana digulirkan dalam ranah ideologi yang berupa pertautan antara pengetahuan dan kepentingan pihak kapitalis (penumpuk modal), manusia akan memiliki peluang yang besar untuk kehilangan otonomi dan “kejelasan” eksistensialnya. Penakhlukan kesadaran, demi penahklukan material dalam akumulasi kapital, dimulai dengan memasang wacana dominan yang masih tetap mengukuhkan ideologi yang menjaga kepentingan pemilik modal. Manipulasi benda-benda mendorong pada penanganan simbol-simbol, sehingga pilihan masyarakat (individu-individu) didasarkan tidak pada “pencerahan”-nya sendiri, tetapi pada keinginan untuk meniru dan mengikuti orang lain.
Manusia tidak lagi dapat hidup selain berdasarkan gagasan yang diberikan oleh orang lain. Manusia ini hidup dengan penuh kekalahan, kesepiannya tidak berarti sama sekali untuk merenungkan kehidupan, sedangkan kesema-rakannya adalah kebutaan kehendak yang mengalahkan “rasio” dan nalarnya.
Manusia bagaimana yang akan lahir? Bukankah upaya pemanusiaan harus diarahkan pada bagaimana orang menjadi apa adanya dia—atau menurut Nietzsche how one become what one is—dan membebaskan dirinya dari realitas semu konstruksi sosial yang sebenarnya lebih banyak lahir dari proyek-proyek penindasan sepanjang sejarah? Kalau kita membicarakan Nietzsche, ia adalah pemuja kesepian; jaman yang ia benci membuatnya berpikir dengan cara yang lain berdasar keyakinannya. Kata Nietzsche (2000) lewat Zarathustra-nya: Engkau belum lagi mencari dirimu sendiri tatkala engkau temukan aku. Begitu pula semua orang yang percaya; maka seluruh kepercayaan kecil artinya. Kini biarlah engkau kehilangan aku dan menemukan dirimu sendiri, dan hanya ketika engkau telah menyangkal aku maka aku akan kembali padamu.
Dari kutipan tersebut jelas, bahwa orang yang tidak mencari dirinya sendiri akan hanya akan tunduk pada kesemarakan orang lain. Ia tidak pernah “menyangkal” apa perintah-perintah, wacana-wacana, dan ideologi yang ditujukan padanya. Individu dan masyarakat teralienasi justru ketika dia ingin meniru masyarakat lain, sedangkan mereka tidak mampu untuk mewujudkan keinginan meniru (imitasi pada budaya borjuis) gara-gara mereka justru tidak bisa lepas dari jaringan eksploitasi dan pelanggengan posisi yang hirarkis di mana kelas ataslah yang terus-menerus mendesain budaya mereka dan menikmati pekerjaannya itu dengan hidup yang “enak-enak”, yang tidak didapat oleh kelas bawah yang jadi korban. Dalam dunia global ada dunia Pertama, dunia Kedua, dan dunia Ketiga. Kenyataan itu adalah pencitraan dari struktur hirarkis internasional yang mengawali dan mengabadikan penindasan sesama manusia, serta hilangnya nilai cinta. Di era globalisasi, posisi hirarkis ini tidak lagi begitu dibatasi negara-bangsa.
Tapi, bagi para pecinta yang serius, pada hakekatnya hidup adalah suatu proses; keraguan, ketidakmenentuan; dan misteri amat bersahabat dengan proses. Jadi, bagi para seniman, intelektual, dan pemikir, persoalannya adalah bagaimana menciptakan sistem sosial, budaya, dan hubungan antar individu yang memungkinkan manusia mengalami pengalaman hidup yang membuat ia berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan kepeduliannya dengan Tuhan, alam, dan manusia lainnya. Proses itu akan membuat kita menjadi kreatif, berperasaan, dan percaya secara terus menerus pada keindahan yang dikandung oleh alam ciptaan yang maha Kuasa.
Orang yang tidak punya negative capability tak akan kreatif, karena bagi mereka segala sesuatunya telah jelas, tidak menimbulkan keraguan dan tidak merupakan misteri. Jika memang proses kreatifitas identik dengan struggle for getting beauty, atau lebih tepatnya menciptakan suatu yang “layak” dan “elok” bagi kemanusiaan, maka apa yang telah dan akan kita tempuh sebagai manusia sejati haruslah menjadi nuansa cinta yang berbeda dengan spesies lain (binatang) yang tidak memiliki sense of beauty.
Sementara dalam logika kapitalistik, estetika adalah keindahan yang bersahabat dengan dinamika modal dan kepentingan mengumpulkan uang. Itu haruslah dianggap sebagai kontradiksi humanitas; dan para seniman punya potensi untuk meresponnya dengan berbagai cara yang diungkapkan lewat ekspresi estetik dan memiliki nilai humanitas sebagai bentuk protes atas de-humanisasi yang cenderung membludak dalam pertarungan di medan pasar bebas (kapitalisme).Kondisi-kondisi eksistensial manusia yang rindu keindahan sejati tidak begitu gampangnya menerima sesuatu yang tampak begitu saja: manusia kapitalistik yang dangkal dalam memandang materi (bentuk, ukuran, berat, warna, dan ukuran-ukuran materi yang lain) akan menerima apa yang didapat dari daya tangkap inderanya secara instan. Pada dasarnya ia adalah budak dunia, dia objek alam, pesuruh sejarah yang nilainya bagi kemanusiaan sebenarnya sangatlah rendah.
Makanya karya sastra harus menunjukkan kontradiksi yang ada pada masyarakat, dan bukan justru terlibat untuk menyembunyikannya yang berarti membantu para penguasa yang menikmati keenakan hidup dari hubungan yang kontradiksif itu. Kerja dan hukum kontradiksi itu tentu saja melampaui corak-corak budaya apapun dalam masyarakat baik agraris, maritim, ataupun religius. Pramoedya Ananta Toer, sebagai sastrawan yang ingin mengangkat harkat dan martabat kerja dan tenaga produktif manusia, secara tegas memihak kelas pekerja yang paling berperanan dalam sejarah. Ia menggugah semangat pembaca dengan menceritakan lahirnya pencerahan dan kesadaran kelas tertindas yang menemukan landasan teoritiknya untuk membongkar penindasan yang ada di dalamnya. Dalam Bumi Manusia, ia mengangkat Minke yang awalnya berpaham feudal, kolot, dan bodoh, menjadi manusia baru yang berwawasan luas, modern, dan mampu menjelaskan pada masyarakatnya akan penindasan fisik dan ideologi feudalisme-priyayisme dan kapitalisme-kolonialisme penjajah Belanda.
Kerja fisik dan pengetahuan menuju muara tertinggi kesadaran agar mampu menyingkap tabir—lalu melawan—penindasan adalah kesatuan pesan dari tulisan-tulisan sastra Pram dan realisme sosialis seperti Maxim Gorky. Untuk Gorky, misalnya, dalam novel Ibunda-nya, jelas-jelas ia berpihak pada kerja, kelas pekerja, yang ditindas oleh minoritas tuan feudal dan kapitalis (pemilik pabrik-pabrik). Karya sastra yang mendustai ibu kandungnya berupa “kerja”, dengan demikian, termasuk karya yang menganggap bahwa dirinya adalah independen dan bebas dari beban moral dalam masyarakat tempat ia lahir dan hidup, di mana kerja mayoritas rakyat dihisap oleh minoritas manusia yang lain. Gejala “mendustai ibu kandung”-nya.
Di sisi lain, kesalahan untuk mengetahui siapakah “ibu kandung” sastra—sebagaimana banyak terjadi sejak terjadinya hegemoni sistem ekonomi pasar—juga memunculkan kesan bahwa satra tidak mengambil sikap kritis terhadap pertumbuhan kapitalisme. Faktanya, proses kapitalisasi ekonomi itu kian menyeruak dalam wilayah kebudayaan lewat progresifitas yang dijalankan melalui budaya dan sastra pop. Sementara, sastrawan semakin tunduk pada kapitalisasi karya yang membuat mereka lupa pada ibu kandungnya. Kini mereka sedang asyik menyusu para ibu barunya yang bernama “Pasar”! Walahu’alam.


Tidak ada komentar: