Senin, 17 Desember 2007
Happy Heppy Salma
jam sebelas siang yang ingin dimangsa matahari adalah orang yang merasa sepi
ia berdiri
seratus meter di hadapanku: waktu itu
"Dia Nyai Ontosoroh, wanita jaman pergerakan, Ibunya Minke seorang anak bupati feudal yang mengenal kata kata juang, menguak hipokrisi dan hina dina mental penjajahan", bisik Kawanku.
"O, jadi dia Sanikem, seorang anak Sastro Cassier yang menjual kehormatan demi uang... Hmmm, dia nampak lebih matang dari perempuan dalam periode kapan saja", tukasku.
"Dia Heppy Salma".
"Iya, aku tahu", jawabku, "memang kenapa?... Aku pandang dia sebagai Nyai Ontosoroh".
Sebulan kemudian.
Siang lebih menyukai ratusan manusia berjalan dengan tubuh terbakar membawa bendera merah, mengepung istana negara, membentangkan spanduk perlawanan.
Dua orang perempuan cantik membentangkan poster:
TOLAK POLIGAMI!!
NEGARA WAJIB LINDUNGI KAUM PEREMPUAN DAN ANAK!!!
Matahari hampir meledak karena setiap suara suara itu kini terus saja terdengar....
(Puisi Nurani Soyomukti): PERGANTIAN TAHUN
suasana malam, terutama bintang yang berbaris di angkasa
menghempas kejemuan dan melahirkan spaneng pikiran
lalu muncul kata-kata menari di antara bercak-bercak bayangan abad-abad yang lalu
yang dengan cepat dapat kutinggalkan
dan dengan cepat pula aku tenggelam memasuki keremangan
angin masih dapat menerpa pucuk pohon rambutan
dan kabar dari seorang kekasih masih belum dapat kupindahkan
pada hal jika aku bercakap-cakap dengan bulan,
sepi dapat dengan sopan
permisi dari sini.
cepat atau lambat
pergantian tahun hendak memberi kesan
atau kesanggupan.
(Lenteng Agung, Des 2007)
BALADA CIUMAN
Kekasihku,
Dan malam itu,
malaikat-malaikat Cinta tidak bisa berbuat apa-apa
ketika bulan menggigit bibirnya sendiri.
Hujan rintik-rintik dan udara cukup hangat,
dan tak ada lagi yang perlu ditunda saat waktu menunjukkan jam yang tepat.
Yang bernama gairah percintaan tidak mungkin dibunuh dalam sekejab
—atau akan meledak dengan sendirinya di dadamu meluluhlantakkan benih-benih
kejujuran dan keterusterangan di dalamnya—
sebab temali rindu berujung dan berpangkal
pada suatu yang memancarkan kekuatan yang kita sebut “Keinginan”.
Ketakutan yang dipelihara akan memperpanjang daftar kekalahan
di hatimu,
kadang berubah jadi penyangkalan pada kenyataan,
dan bahkan kadang berubah jadi dendam yang sulit dijelaskan...
Dan tiada yang dapat disalahkan
karena tidak ada yang berani menyatakan kerinduannya sejak awal.
/2/
Kekasiku,
Dan rindu bukanlah suatu keindahan di awang-awang,
Malam ini ia kita tanggung dalam hati kita.
Perasaan kita mengandung perasaan yang sulit diungkapkan.
Dan saat bibir itu dengan mudah menyatu dan memagut,
kita kan membayar hutang atas kemunafikan dan kebohongan hati kita...
dan memang belum tentu segera lunas,
karena kita masih takut untuk membebaskan diri dari beban-beban yang lain...
Pada hal tingkat tetinggi dari cinta adalah perlawanan
sebelum dia membebaskan kita membawa keindahan tertingginya.
Perjuangan membebaskan pikiran dari belenggu kebodohan dan kemunafikan,
tapi juga yang berakar pada kondisi tubuh dan lingkungan kita
yang centang perenang.
Tapi mereka yang paling munafik sekalipun
tak mungkin mengusir Adam dan Eva yang memiliki firdausnya hari itu!
Kekasihku,
Ketika aku tiba-tiba menghadapkan wajahku ke wajahmu
dan merapatkan bibirku pada bibirmu yang masih kuncup—
dan akan segera mekar!—,
maka anggaplah bahwa aku adalah malaikatmu
yang mengabarkan cara pembebasan diri dari belenggu tubuh,
otak,
dan jiwa yang terpasung kepahitan masa lalu,
dendam dan kelicikannya.
Maka dengarkan aku ketika kubisikkan kata-kata di kupingmu
yang juga ingin kupagut: “Sayang, Cinta tidak tersusun dari batu-batu beban yang
memenuhi taman otak dan hatimu.
Keindahan tak akan tercapai jika dikau tak mampu menyingkirkan
rumput-rumput liar dan menanami sendiri tamanmu dengan kegairahan.
Tidak mungkin kita akan menuju pada cinta tanpa mengalami kesedihan
dan kebahagiaan yang ditanggung bersama.”
“Kelak, ketika banjir menghanyutkan taman yang kita rawat,
kita akan mendayung sebuah perahu dan kita temukan pulau
di mana kita bisa bercinta di sana, melahirkan anak dan
melahirkan peradaban baru.”
/6/
dan aku akan membayar semua kehidupan atas pelampiasan tak bernama ini.
Satu demi satu kecupan akan menjadi tonggak peradaban seabad kemudian.
Dan biarlah,
masih akan terkenang
Tentang buah Kuldi
oleh para peracik gatra-gatra,
saat dunia kita nobatkan sebagai puisi
yang berbuah ketahumenahuan dalam setiap rasa cinta dan benci!.
(Jember, ............)
Jumat, 23 November 2007
SELESAI SUDAH...
Kamis, 06 September 2007
KEINDAHAN, AKU MENCARIMU!
Keindahan,
Aku mencarimu
Piala yang kuperebutkan dengan cara bertarung
Melawan kesia-siaan.
Kuraih dirimu saat kuterjaga saat kubermimpi
Kudapati kau kugapai kau kukejar kau
Wahai nuansa hidup yang melingkar dalam repetisi keinginan
Kueja kau dalam bait-bait,
Kususun kau bersama perlawanan mengenyahkan kebuntuan
Kunamai kau kuldesak
Karena katakata sesak pada bait terakhir yang terdesak.
Aku ingin memujamu dengan kata yang panjang,
tapi kau hanya menari di angan.
Oh, kubertemu kau dalam mimpi
Kuadukan padamu kenapa kau hanya
sering menyeruak dalam kerinduan pada Kekasih tercinta.
Kuadukan padamu ucapan Tuan Tardji bahwa
aku harus menemuimu hanya pada katakata
dan bukan derita dan bukan dogma dan angkara.
Pada hal kau sering menjumpaiku pada rindu
pada angkara
pada rasa
pada makna
Yang cukup mengerti dari mana asalnya.
Aku hanya ingin mengadu, wahai Keindahan!
Engkau jangan kejamkejam dan diam saat pengertianmu
diperkosa dengan bahasabahasa yang kau sendiri tak paham
biarkan dirimu tidak hanya datang pada proses manipulasi jiwa
biarkan dirimu tidak hanya tiba pada saat repetisi nuansa
perpisahan dan perjumpaan tanpa tetes air mata.
Jakarta, September 2007
Jumat, 31 Agustus 2007
TERMINAL KESEKIAN
kemana larinya bus-bus itu…
seorang gadis manis di dalamnya yang berkeringat bahkan tidak
bisa menjawab.
kemarin seorang wanita tua mencari anaknya yang diculik orang dari
tapi masih belum akan terungkap rahasia tentang siapa yang pertama kali memaksa
orang-orang harus banyak mengeluarkan keringat
darah
dan air mata
hanya seorang sopir tua yang paling dapat mengenali air mata es apukat
ditatapnya pula banyak kendaraan beroda empat yang berkeringat.
waktu itu tahun 1998,
awal Mei yang membuat orang dengan bebasnya membuat kesimpulan
tentang suara keroncongan dalam perutnya pada pukul 11 siang.
kini memang terpaksa seorang pengembara mampir kembali.
untuk mendengarkan kata-kata yang wajar untuk memperebutkan penumpang
Senin, bulan Maret 2005, mentari panas masih memantul di kening mereka,
keringat mengalir seperti solar yang harganya telah naik
“Segera akan terungkap siapa pelaku sejarah sebenarnya” bisik salah seseorang di sebuah
warung yang ingin menikmati nasi pecel ibu tua
yang harganya masih murah—dan itu adalah satu-satunya kesempatan hidup yang tersisa.
seperti terbayang dan terdengar kembali bisikan Lenin
yang seakan baru pergi naik angkutan yang keluar dari terminal itu
dan memang terpaksa seorang pengembara harus pergi dari sebuah warung kopi
tiba-tiba ia kembali diperebutkan,
diseret oleh tiga orang kenek
bagai para elit yang masih berebut jabatan.
“Andai aku bisa membelah diri, aku akan membagi tubuhku menjadi tiga
dan akan kubiarkan saja mereka pergi ke mana saja…”, bisiknya.
dan mesin-mesin menderu lebih keras
menegaskan bahwa juga terjadi kenaikan bagi tarif angkutan
disesuaikan juga dengan harga beras.
—sebab, mulai siang itu, keringat semakin mengalir deras.
SATU KETOLOLAN LAGI
satu ketololan lagi jaman memahati mimpi
pepohonan di pinggir-pinggir jalan
didatangkannya bala bantuan dari raungan anak-anak malam yang berkendara
digratiskannya lagi karcis pertandingan sepakbola
sebab hidup ini seharusnya gratis, katanya, yang sejam kemudian juga dikabarkan di siaran-siaran infotainmen, sinetron, dan pertandingan tunda
seperti gambar saja rambut anak-anak itu
dan angin mengecatnya
dan satu pleton lagi, bintang demonstrasi di langit dini hari
satu ketololan lagi jaman memahat mimpi
telah lupa ia kulelehkan mulutnya sesudah lama menunggu
sebelum kabut hadir di ingatannya
setelah itu aku sempat terbuai dengan bibir-bibir jalan
yang manis. Aku membawanya lari yang ternyata bayang-bayangku sendiri,
saat badai kencing di paritnya; dan pohon pohon itu berpaling ke arah gunung
ia pun lupa telah kucerai nafasnya saat aku tak sanggup menjadi penunggu musim seorang diri
langkahnya tenggelam tiap waktu
lalu kabut membaju, dan kini kukenakan dalam mimpiku.
(Trenggalek, Februari 2005).
PERGANTIAN TAHUN
Puisi Nurani Soyomukti
suasana malam,
terutama bintang yang berbaris di angkasa
menghempas kejemuan dan melahirkan spaneng
pikiran
lalu muncul kata-kata menari di antara bercak-bercak bayangan
abad-abad yang lalu
yang dengan cepat dapat kutinggalkan
dan dengan cepat pula aku tenggelam memasuki keremangan
angin masih dapat menerpa pucuk pohon rambutan
dan kabar dari seorang kekasih masih belum dapat kupindahkan
pada hal jika aku bercakap-cakap dengan bulan,
sepi dapat dengan sopan
permisi dari sini.
cepat atau lambat
pergantian tahun hendak memberi kesan
atau kesanggupan.
GLOBALISASI
01 Januari 2004,
Virus belum teridentifikasi melayang-layang di udara
Tak tertembus mata kita
Dan aku bosan membayangkan sajak tentang dukamu menangis, meraung-raung,
menjerit-jerit. Bait-bait curianmu pasti terdesak prasangka tanpa voltase keimanan
--karena itulah, kau takut menjadi pahlawan abad ini?
Dunia mengobral kata-kata murahan.
Etalase.
Dunia iklan.
Sajak-sajak artifisialmu yang baru kau baca di layar TV… aku yakin semua akan tertolak
dalam kesepianmu.
Virus-virus peradaban melayang-layang di udara
Juga tak terdeteksi oleh mesin komputermu
Cuma gosip murahan yang akan berkembang, yang kini masih kau simpan rapi dalam fail-fail
yang hanya bisa dibuka saat sisa air hujan sudah mengering. Dan kembang plastik dalam puisi,
hanyalah lambing sepi: Bukan lambing Cinta murni!
Cinta, dalam mimpi-mimpi di dunia ketiga, adalah uluran tanganmu yang membekaskan dendam.
Keakraban harus mampus dalam dikotomi. Jarak begitu jauh di antara jurang ideologi.
Cinta, dalam mimpi-mimpi dunia sajakku, adalah dongeng-dongeng seribu harapan pada
segenap episode dari pulau-pulau terpencil dalam aorta: darah akan terus mengalir membawa
sisa-sisa tragedi yang terjadi.
Kita tiba di abad dua puluh satu, bisikmu.
Dan malam akan datang dengan hawa rindu dendam, yang lari tunggang langgang,
mengombinasikan angan-angan orang di pinggir jalan dan rumah-rumah sebesar detik-detik
waktu, dengan atap-atap beterbangan.
Rindu dendam pun berhamburan.
Bulan yang merayap di atas pohon-pohon duren perkasa adalah kesunyian.
Bintang yang merayap di atas dua hati terbuai adalah kehampaan.
Jengkerik yang bernyanyi mengiringi perselingkuhan mendobrak angin malam kembali ke
kamar peradaban menunggu.
Semak-semak kecil aset pivotal bagi kain cinta yang semakin transparan.
Dan lihatlah mereka berdua yang berkaca pada kabut, tanpa busana dan pikiran.
Malam ini kita tak lagi berada di kegelapan, angin kan senantiasa menjenguk bulan yang
terpenjara, bisik seorang dari mereka. Lalu mereka berjalan bergandengan melanjutkan
menikmati malam.
Dan ada kekeringan nyata di antara gegap gempita orang-orang membangun rumah sewa di
sepanjang perjalanan kemelaratan. Di dalamnya, noda-noda yang tercipta dilengkapi dengan
obat perangsang, serta ada guci-guci arak berserakan.
Di jalan lain, mulut-mulut berkeliaran mencari kawan bermain, sambil berkata tentang alat
kelaminnya yang telah mengencingi bumi yang tak lagi murni.
Di sebuah meja rumah penginapan juga ada irisan hati yang tak layak disajikan di atas piring
dan mangkuk makan malam, kecuali dengan rayuan iklan kebohongan yang menjiplak
khotbah-khotbah setan yang juga kelaparan pada alamnya sendiri.
Dan alangkah suburnya pohon-pohon paha manusia-manusia besi yang terbuka, pada
etalase-etalase, yang menggantikan padi dan kebutuhan sehari-hari.
01 Januari 2005,
Mungkin aku terlalu pandai menyambut kedatangnmu, di abad dua satu yang katamu ada
bulan-bulan memerah jambu
Beberapa porsi menu pesta yang kau sajikan untuk menyambut sejarah,
yang kau bilang tak dapat dimakan usia,
kubanting tanpa kata-kata,
tanpa puisi jiwa.
Kau hendak menggunduli kepalaku
Tapi aku merasa bukanlah anak atau darah dagingmu
Aku hanya kau temukan di persimpangan jalan kekolotan. Nafasku berbau hutan, dan aku
hanyalah bocah yang akhirnya terbuang dari peradaban semak belukar.
Dan sepertinya tahun ini layar bioskop masih akan memproyeksikan tebalnya gincu merahmu.
Pada hal aku telah puas mengecupmu sebelum memulai adegan.
--sepertinya gedung bioskop juga akan terbakar.
Di dalam rumahmu, praduga kejang pada interlude.
Iklan TV mengiringi jarum jam, sempoyongan.
(Egak egok egak egok egak egok egak egok..
pengayuh becak jamanpun sempoyongan.
Lalu kau buang besi-besi tua itu ke samudra Indonesia,
sebelum memulai kisah selanjutnya!).
(Jakarta, 2004).
KEPERGIAN KESEKIAN
Kening ibu kucium tiga kali,
Bukan untuk kepergian yang jauh dan lama,
Tapi justru karena aku terlalu lama berada di rumah.
*Sempu-trenggalek, Februari 2006
MENANTI MUSIM
Menanti musim sama dengan menanti keringnya luka
Harus sabar menghadapi siksa
Tuhan memang sengaja menciptakan kering rindumu di atas daun
Randu
Ketika dulu kamu pernah berkata bahwa gerimis bisa jadi tanda cinta
yang lara
Tapi kamu juga mengerti, menanti musim sama dengan melahirkan kalimat
Harus sabar karena kerinduan terdiri dari kata-kata yang berkeringat,
mencari makna.
Tuhan menciptakan cinta
Bagi semua bait sajak di atas kertas sukmaku ketika cintaku padamu
mengendap dalam udara musim ini
Adinda, jika kau tidak sabar dalam kesepian ini
Jangan bertanya pada musim
Tanyalah pada huruf dan kalimat yang kukirimkan!
*
KEMBANG
Puisi Nurani Soyomukti
Saat seorang gadis menerima setangkai kembang
Ia tak dapat menyangka apa yang tersirat dari warnanya yang
mencolok itu
Karena ia belum bisa menafsirkan kata-kata sajak yang kukirimkan
bersama kembang
itu untuk pertama kalinya.
Setelah dicium baunya, akhirnya ia tahu:
Kembang itu kupetik dari taman saat sepi membawa kengerian hati,
membawa
separuh kenangan lamaku yang tertinggal.
Jika kau bertanya kenapa kukirimkan kembang,
Kembang adalah teman perempuan.
*Jember 2006
MENCOBA MENGHUBUNGKAN KESEPIAN
Puisi Nurani Soyomukti
Mencoba menghubungkan kesepian dengan wajah negeri sendiri yang hilang,
Sekitar 75 mahasiswa duduk menggigil kedinginan di persimpangan jalan,
Di bawah lampu merkuri yang dikerumuni potongan bintang-bintang beterbangan.
Masing-masing mendekap tubuhnya sendiri setelah kabarnya membentangkan selama 12 jam
spanduk bertuliskan: NEGERIKU HILANG!
Aku cuma berjalan memandangi wajah mereka satu persatu yang
juga hampir hilang. Di sini bukan di kutub utara, bisikku.
Tapi cuma dingin tengah malam bagai salju yang menembus jas almamaterku. Dan
payudarakupun kusut, seperti hanya kecemasan yang menyelimutiku.
Dan demi rasa benciku pada musim kering,
Akupun bergegas tinggalkan persimpangan itu.
Esok pagi aku akan kembali karena kejahatan senantiasa membungkam cinta di negeri yang
selalu kering, bisikku!
SEBERMULA DARI SEPI
Sebermula dari sepi
Jiwa menggarap kelahiran
dan kematian dalam penyatuan badan
Keraguanpun berhasil menyia-nyiakan pengungkapan
kehendak dalam peristiwa yang kita lewati
—padang-padang gersang itu:
Cara kerja tubuh dan jiwa berbelit-belit.
Keduanya menunda-nunda perubahan dari kemunafikan
ke arah cinta yang melandasi kehidupan dalam kontras kata-kata puisi yang
menyingkapkan makna yang tidak sama
dengan teriakan anak-anak di sepanjang perjalanan
yang kita lewati musim lalu di sebuah perkampungan miskin dan kumuh,
jauh dari cinta para pendeta dan kemurahan hati Tuhan.
Kau belum tahu kapan keindahan cinta ini lahir.
Kau sama sekali tak hiraukan kemungkinan-kemungkinan
apa yang dapat mengekang gerakan-gerakan unsur-unsur tubuh dan jiwa
yang menjadi potensi kemenangan bagi cinta dalam baris puisi
yang belum dapat kau baca,
atau untuk menyusun perlawanan
pada pasukan musuh yang akan datang
membawa
Apa yang sebenarnya ingin kita halau, kekasihku?
Bahkan kau kira puisi yang kukirimkan sore itu
adalah lambang keinginan yang membutuhkan pamrih…
tapi kaupun belum dapat memahami makna dari setiap kata.
Tapi apa yang sebenarnya terjadi?
Apa yang kita cari sebenarnya…
waktu itu kau menunggu kapalku datang.
(Mungkin aku juga telah lupa…
masa-masa yang benar-benar sulit).
Sebelum aku datang padamu,
lalu saling mengenal melalui bagian tubuh dan jiwa,
di seberang
“Hisaplah kata-kata ini… sampai tubumu menjadi puisi. Kau akan pergi jauh
meninggalkan
bayang-bayang masa kecil mengeras dalam otakmu. Tapi kau harus memungutnya
kembali
sebagai upah, sebagai sajak yang indah.”
Sebermula dari sepi
Lalu setelah kita bertemu dan aku mengembara lagi tanpa tujuan,
aku terus saja bermimpi tubuhku
tak akan menyisakan ungkapan apa-apa
sampai suatu saat pembebasan diri dari setiap musim
menjadi sebuah hal yang sulit dilakukan.
Sebermula dari sepi
Lalu pada masa uzurku aku akan kembali padamu
Hingga matipun kita berada dalam tempat dan waktu yang sama
Seperti tubuh dan jiwa setiap orang
dengan masa percintaan
yang paling menyemangati penciptaan puisi-puisi.
IKHWAL PENCIPTAAN
Matahari menyedot mengeringkan air hujan
Kalimat juga kering di musim kemarau
Musim paceklik kata-kata
di bumi tempatku melahirkan puisi.
Sepanjang astaga yang tak bisa terucap
Hanya ada kertas berkeringat
Di bawah genggaman pena yang bergetar.
Dan greget.
Tanganku sulit sekali menyentuh sitaresmi
Imagologiku gelap gulita.
Dan doa memang seperti sia-sia
Kangenku, kangen hujan!
Harapanku, harap hujan!
Rinduku, rindu hujan!
Tangisku, tangis hujan!
Sukmaku hidup dari nyawa
hujan yang hidup dalam kehidupan
Nafasku sesak dalam nafas musim kemarau
Dan sumpek selalu datang.
Pada hal aku hanya punya satu kata: Hujan.
*Jember, 23 Agustus 2005
AWALNYA PENCAPAIAN BEGITU SEDIKIT
Awalnya pencapaian begitu sedikit akhir-akhir ini
Anak-anak tidak lagi suka berita politik
Kabut menjadi jingga. Langit bergulung musim ini
Membentuk wajah-wajah kartun.
Wanita-wanita pantai selalu menebah pasir yang menimpa rumah kecilnya.
Tuhan, dielusnya gambarmu yang terpaut di balik senja sore itu…
Tanpa kabar dan berita, saat gelombang itu datang sesungguhnya rindumu terpasang
Karena telah terlukis tubuhmu setengah badan
Pada selembar kertas yang diterbangkan angin yang meniupkan lara
Enam puluh hari yang lalu ketika aku datang
pohon-pohon kelapa dengan rumput lebat di atas tanahnya;
Rumahmu yang baru kau cat dengan warna kuning tua;
Ibumu yang baru saja terjaga malam itu seolah roh ayahmu mengajak bercumbu;
Semuanya sempat menerimaku sebagai orang yang baru datang di pulau seberang:
“Kuharap kau bisa meringankan sedikit beban
sebab ini adalah
lihatlah orang-orang berwarna hitam karena perang dan kelaparan, meski kami tak tahu siapa musuhnya.”
Dua bulan kemudian
Kudapati suratku tidak mungkin sampai pada alamat yang dituju
Mungkin ia dibawa gelombang
Dibawa ke kontinental-kontinental yang lain
Oh, kata-kata terakhirku:
“Sayang, aku akan segera datang.
Tunggulah aku dengan penuh rasa rindu!”
Lalu gelombang itu telah memusnahkan dirimu bersama kerinduanmu
Menghantam apa yang telah kugapai sedikit-demi sedikit tentang perdamaian di
Kini aku datang lagi dengan beban yang cukup berat
Meskipun suratku tak pernah salah alamat!
[
BELUM KUTEMUKAN SATU MUKJIZATPUN
Belum kutemukan satu mukjizatpun
Selama duasatu abad
Cuma cinta yang selalu kutunggu
Anak anak sunyi malam,
menyebutnya sebagai keajaiban.
Setelah tangis kepuasanmu terukur dengan diam,
Mukjizat apa yang bisa kutunggu?
Langkah mengukur waktu saat aku kau dampingi
Dan kuanggap sebagai mukjizat.
Terimakasih ini mengecup daun pertama
yang telah tumbuh menandai kemarau yang kita lewati.
Dan ada kalanya bagi seorang penyair,
yang telah menyamar lama sebagai pengembara,
hujan dirias
menjadi suatu yang dianggap
mungkin: Mukjizat!
*
BERTOLAK DARI SEBUAH KEPENGAPAN
Bertolak dari sebuah kepengapan,
lau dengan 1000 rupiah aku korbankan
berjuta-juta kesangsian.
Aku ngluyur ke gang-gang
di mana para pelacur hanya bisa memandang.
(Aku tak akan menawar harga puisi, bahkan!).
Aku berjalan mencari saudaraku
—ia bernama kebebasan.
Kabarnya ia telah membangkitkan segala hiruk-pikuk
membakar pabrik-pabrik baja
di mana nafsu dan ideologi juga dicipta di
Kabarnya ia telah memenangkan sebuah pertandingan sepak bola
(di mana para suporternya juga ikut terbakar di stadion yang cukup tua,
termasuk hilangnya semua misteri
Kabarnya ia telah menakhlukkan mafia
Lagi-lagi para pelacur itu menawariku kebebasan.
Tapi, kebebasan tidak mungkin didapat dari susu tuanya
yang tidak menggairahkan.
Toh tak pula ia diperjualbelikan.
Dan aku terus mondar-mandir mencari kebebasan
ke semua gang-gang sejarah.
Dengan uang 1000 rupiah
aku akan terus menerus menelusuri kebebasan
di sepanjang gang-gang sejarah,
hingga 1000 rupiah tidak lagi berharga,
bahkan untuk sehelai koran tempat para pelacur itu rebah.
(
HIKAYAT FOUCAULT DAN MARX
ditatapnya gambarmu.
Begitu tegang, seakan ingin didekatinya zeitgeist
dengan cara mengelus-elus ubun-ubunnya sendiri
… nyatanya malam-malam selalu berbau matahari.
demikianlah,
seorang filsuf dan bahkan seorang pengigau jaman
juga boleh menjadi seorang pemabuk
atau seorang berkacamata yang mati kena virus HIV
juga karena tertimpa tumpukan buku-buku.
: bahkan juga penyair seperti Tardji,
yang lempar kata kata dari Aku,
kelak juga mati.
pemikiran maut telah menular
bagi pecandu dalil-dalil sejarah
yaitu para pewaris yang tidak pernah ingin kena virus apapun,
kecuali virus cinta yang membuat ruangan hati
merasa diejek dinding-dindingnya
yang keesokan harinya memaksa halaman koran memberitakan
seorang mahasiswa angkatan tua yang gantung diri
di kamar kosnya.
(Jember, Awal Juli 2007).