Senin, 27 Agustus 2007

PENYAIR PEMBELA RAKYAT, PENYAIR YANG HILANG


Penyair yang Hilang, 2000, tinta di atas kertas, 56 x 77 cm.Semsar Siahaan.
Seniman Rakyat



Wiji Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, yang mayoritas penduduknya adalah buruh dan tukang becak. Ayahnya sendiri seorang tukang becak dan buruh. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara dia berhasil menamatkan SMP pada tahun l979, lalu masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat dan keluar pada tahun 1982. Selanjutnya ia hidup dari berjualan koran, lalu bekerja di sebuah perusahaan mebel antik menjadi tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur ini, Wiji Thukul mulai membuat puisi dan membacakan disekitar teman sekerjanya.
Menulis puisi dilakukan Wiji sejak SD, pada dunia teater ia tertarik sejak SMP. Ia pernah masuk anggota Teater Jagat ( Jagalan Tengah). Bersama-sama kawan dari Teater Jagat itulah ia keluar masuk kampung mengamen dan membaca puisi dengan iringan berbagai instrumen musik; rebana, gong, suling, kentongan, gitar dan sebagainya. Ia mengamen tidak hanya di Solo tapi juga sampai ke Yogyakarta, Klaten, Bandung bahkan Surabaya.
Tahun 1988 ia pernah menjadi wartawan Masa Kini meski cuma tiga bulan. Puisi-puisinya diterbitkan dalam media cetak dalam dan luar negeri seperti: Suara Pembaruan, Bernas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia, Tanah Air, Progress, Pembebasan; diterbitan oleh terbitan mahasiswa diberbagai kota; terbitan LSM; dan dibacakan dalam berbagai aksi-aksi rakyat. Selain itu, yang membedakan puisi Thukul dengan seniman lain adalah puisinya seperti menjadi bacaan wajib dalam berbagai aksi-aksi mahasiswa dan rakyat. Kutipan dari puisinya yang berjudul Peringatan yaitu “hanya ada satu kata, lawan!” menjadi slogan dalam aksi-aksi rakyat. Dan Wiji Thukul sendiri terlibat dalam banyak aksi-aksi rakyat untuk berorasi dan membacakan puisi-puisinya. Bahkan boleh dikatakan banyak aktivis mengenal karya-karya Thukul dalam aksi-aksi, ketimbang membacanya di koran atau dalam pementasan pembacaan puisi.
Thukul sadar puisi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena itu ia bekerja untuk menambah penghasilan. Thukul membantu istrinya dengan membuat sablon, tas dan menjadi tukang plitur. Keluarganya mengontrak rumah di kampung Kalangan. Di rumah ini ia mendirikan Sanggar Suka Banjir, sebagai tempat anak-anak kampung untuk belajar seni pembebasan melalui media gambar, cukil kayu, lagu, tarian dan teater. Dipilih nama Suka Banjir, karena memang sanggar itu kerap banjir bila turun hujan.
Di rumahnya yang kecil itu juga dapat kita temukan ratusan buku yang menjadi bacaan dan koleksi Wiji Thukul. Puisi-puisi Thukul telah dikumpulkan dalam bentuk fotocopy-an dan disebarkan dikalangan aktivis dan seniman oleh Taman Budaya Surakarta, diantaranya adalah; Puisi Pelo, Ketika Rakyat Pergi, Darman Dan Lain Lain. Semua fotocopy-an ini diterbitkan antara tahun 1983-l989. Kumpulan puisinya tentang kaum buruh diterbitkan menjadi sisipan majalah Progres ditahun 1992. Kumpulan puisinya yang betul-betul dalam bentuk buku sudah terbit dua buah yaitu; Mencari Tanah Lapang, diterbitkan oleh penerbit Manus Amici di Belanda pada tahun 1993 dan Aku Ingin Jadi Peluru diterbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun 2000.
Pada tahun l989 Thukul diundang untuk membacakan puisinya di Pusat Kebudayaan Jerman, Goethe Institut di Jakarta. Pada tahun l991 ia membacakan puisi di Pusat Kebudayan Belanda Erasmus Huis. Pada tahun 1991 ia mendapatkan Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di negeri Belanda. Pada tahun 1994 ia mengikuti Konfrensi Serikat Buruh Asia Pacific di Perth, Australia dan mementaskan drama perjuangan buruh dalam konfrensi tersebut.
Thukul menikah dengan Dyah Sujirah alias Sipon, yang kini berusia 34 tahun, dan mempunyai dua anak, Fitri Nganthi Wani yang sudah SMP dan Fajar Merah yang masih SD, masing-masing berusia 11 dan 7 tahun. Untuk menghidupi keluarganya Sipon menjahit dan menyablon dirumahnya.
Pada tahun 2001 lalu ia mendapatkan penghargaan Sido Muncul Award dari produsen jamu Sido Muncul dalam katagori ibu yang tabah dan tak kenal menyerah mengatasi keadaaan, setelah suaminya menghilang sejaktahun 1998.
Berorganisasi dan Berpolitik
Sadar akan pentingnya sebuah organisasi sebagai alat perjuangan, Thukul memprakarsai pentingnya para seniman untuk berorganisasi. Pada tahun 1994 Thukul bersama para seniman progresif seperti Semsar Siahaan dan Moelyono mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), dimana ia menjabat sebagai ketuanya. Bersama Jakker ia mencoba membuat sebuah jaringan diantara para seniman progrresif dan kerakyatan.
Thukul sadar bahwa perjuangan politik untuk melawan kediktatoran Soeharto membutuhkan sebuah wadah politik pula untuk menyatukan kekuatan demokrasi dan merumuskan program bersama. Bagi Thukul “Demokrasi tidak dapat diraih hanya dengan baca puisi, tapi dengan aksi-aksi massa bersama rakyat.” Karena itu, tidak seperti seniman produk Orba yang alergi politik, Thukul justru sangat terlibat aktif dalam perjuangan politik.
Pada bulan Mei 1994 di Jakarta diadakan suatu pertemuan nasional dari berbagai elemen dan sector masyarakat dari berbagai kota untuk menyatukan gerakan dan membuat program bersama. Thukul hadir dalam pertemuan tersebut mewakili Jakker. Pertemuan tersebut lalu memutuskan untuk membentuk suatu organisasi payung yang bernama Persatuan Rakyat Demokratik. Dalam pemilihan kepengurusan, Thukul terpilih sebagai ketua divisi kebudayaan.
Lahir dari keluarga buruh, hidup sebagai buruh pelitur dan berkawan dengan lingkungan yang banyak bekerja sebagai buruh, membuat Thukul sangat respek dan mendukung perlawanan-perlawanan buruh. Pada bulan Oktober 1994, di Ambarawa, Jawa Tengah, Wiji Thukul menghadiri Kongres pembentukan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), yang diketuai oleh Dita Indah Sari. Dalam Kongres tersebut ia berbicara tentang pentingnya budaya progresif kerakyatan untuk mengikis sisa-sisa feodal dan membangun kesadaran yang progresif.
Untuk dukungannya terhadap perjuangan kaum buruh ini, Thukul telah kehilangan sebelah mata kirinya pada tahun 1995. Saat itu ia bersama PPBI dan SMID mendukung aksi 14.000 buruh PT Sritex. Ia ditangkap dan dipukuli dengan popor senapan. Mata kirinya terkena popor dan berdarah. Akhirnya ia dirawat dirumah sakit dan mata kirinya ternyata tidak tertolong lagi, alias buta.
Memasuki tahun 1996, terdapat kondisi obyektif bahwa perlawanan-perlawanan massa mendukung Megawati telah berhadap-hadapan dengan kediktatoran Soeharto. Dalam situasi seperti itu penting untuk memberikan suatu kepemimpinan terbuka secara politik melalui suatu wadah partai politik. Persatuan Rakyat Demokratik yang masih merupakan organisasi payung yang cair harus bertransformasi menjadi alat perjuangan politik sepenuh-penuhnya.
Pada bulan April Pada tahun 1996 ia hadir dalam Kongres pembentukan Partai Rakyat Demokratik yang diadakan di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam Kongres tersebut juga diambil suatu keputusan organisasi yang penting dimana Jakker, bersama-sama dengan SMID, PPBI dan STN berafiliasi secara organisasi dan politik dengan Partai Rakyat Demokratik. Pada tanggal 22 Juli 1996 Wiji Thukul membacakan puisinya yang terkenal “peringatan”dalam Deklarasi Partai Rakyat Demokratik di YLBHI, Jakarta. Ini adalah penampilan terakhir Wiji Thukul di depan umum secara terbuka, setelah itu Jakker dijadikansebagai organisasi terlarang (OT) dan dia sebagai ketuanya menjadi target penangkapan.
Lima hari setelah deklarasi PRD, pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan kantor DPP PDI Megawati di Jalan Diponegoro, Jakarta. Pihak militer langsung menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan. Suatu tuduhan yang tidak pernah terbukti di pengadilan. Pada bulan Oktober seluruh Ormas yang bergabung dengan PRD, termasuk JAKKER di bubarkan oleh pemerintah dan dianggap sebagai organisasi terlarang. Setelah para pimpinan PRD ditangkapi dan organisasinya dilarang, Thukul dan kawan-kawan PRD-nya bergerak di bawah tanah. Puisi-puisi Thukul masih sempat muncul di majalah bawah tanah PRD Pembebasan dan disebarluaskan melalui internet dan fotocopy-an dari tangan ketangan. Namun kehadiranya masih tetap terasa hadir, sebab bait dari puisinya yang berjudul Peringatan yaitu “hanya ada satu kata, lawan’ terus diteriakan dalam berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota, sampai hari ini.

Hilangnya Thukul
Ketika saya dipenjara Cipinang, bersama Buyung Buchori, sekretaris Soebadio yang juga ditahan di blok III E, saya mendapat kabar darinya, bahwa Wiji Thukul sempat disembunyikan di rumah Soebadio selama beberapa hari. Dan rumah itu ternyata berdekatan dengan rumah Soeharto di jalan Cendana. Saat itu Thukul dan kawan-kawan PRD-nya terus bergerak di bawah tanah dibawah kepemimpinan kolektif KPP PRD. Kabar itu mengejutkan saya, tapi juga sekaligus melegakan, karena Thukul berada ditempat yang aman.
Menjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998, kediktatoran Soeharto melalui tangan menantunya, Komandan Kopassus, Mayjen Prabowo, melakukan suatu operasi inteljen untuk memuluskan pemilihan presiden yang ke tujuh kalinya untuk Soeharto. Target utama dari pembersihan tersebut adalah para aktivis PRD beserta jaringannya yang dianggap tetap masih menjadi duri dalam daging.
Bila penculikan aktivis yang lainya menunjukan bukti terang keterlibatan Tim Mawar dari Kopassus, maka untuk kasus Thukul memang agak berbeda. Dari kesaksian para korban yang dibebaskan diketahui Herman Hendrawan, Bimo Petrus dan Suyat pernah mereka tangkap, namun tidak ada keterangan dari para korban bahwa para introgator telah menculik Wiji Thukul. Ketidak pastian dari kesaksian para korban dan lincahnya Thukul dalam bersembunyi kemudian menimbulkan berbagai spekulasi dari banyak kalangan. Berbagai rumor, gossip, kabar burung, dugaan dan tebak-tebakan menyebar demikian luasnya. Sehingga Wiji Thukul tampil seperti pacar merah yang terkenal itu, ada dimana-mana, tapi tidak bisa ditemui dimana-mana. Dari semua informasi yang simpang siur tersebut terdapat scenario/teori yang kemudian berkembang;
Teori Pertama, bahwa Wiji Thukul disembunyikan. Menurut teori ini Thukul masih hidup dan sekarang ia disembunyikan, hingga menunggu saat yang tepat untuk dimunculkan. Dalam teori ini terdapat dua kelompok yang diduga kuat terus menyembunyikan Thukul, yaitu PRD dan jaringan Jesuit yang dianggap telah menyembunyikan para aktivis PRD sejak kerusuhan 27 Juli 1996 meletus. Dugaan bahwa PRD yang masih terus menyembunyikan alasan justru berkembang dari beberapa orang aktivis yang hidup di Belanda dan Jerman. Dari beberapa pihak di luar negeri, PRD mendapat surat yang berisi permohonan agar mereka bisa kontak dengan Wiji Thukul yang sekarang ada dalam persembunyian kawan-kawan PRD. Mereka begitu yakin bahwa Wiji Thukul tidak hilang, tapi disembunyikan oleh kawan-kawan PRD-nya. Kami menjawab surat yang dikirim via email tersebut, bahwa tidak ada alasan, bila melihat kondisi obyektif yang ada, dimana PRD sudah menjadi partai legal dan ikut pemilu, bagi Thukul untuk terus bersembunyi. Bagi PRD sendiri akan sangat menguntungkan bila Wiji Thukul hadir dalam perjuangan transisi demokrasi seperti sekarang ini.
Kelompok lain yang juga sering terdengar diangap menyembunyikan adalah para romo jaringan Jesuit. Dari beberapa orang aktivis kami mendapat cerita, bahwa Thukul sebetulnya disembunyikan disebuah tempat di Jawa Tengah oleh seorang Romo. PRD lalu mengutus seorang pengurus untuk mengecek langsung kepada Romo tersebut. Ternyata Romo tersebut juga tidak tahu di mana Thukul berada. Lalu muncul rumor lagi, bahwa Thukul sebetulnya diungsikan ke Kalimantan, kedaerah terpencil oleh jaringan Jesuit. Tapi hal ini juga tidak punya bukti kuat dan menurut beberapa orang Romo yang saya kenal, mereka sendiri juga tidak tahu menahu, dan lagi pula tidak ada alasan untuk terus memisahkan Thukul dari keluarganya ketika situasi sudah berubah. Teori ini juga berkembang karena kebetulan memang ada seorang romo di Solo yang rajin berhubungan dengan si Pon dirumahnya. Tapi romo tersebut berhubungan dalam konteks membantu kehidupan ekonomi keluarga Thukul dengan memesan jahitan dan sablon, bukan sebagai kurir yang menghubungkan Thukul dan istrinya seperti banyak dugaan yang berkembang.
Teori Kedua, bahwa Wiji Thukul sudah melarikan diri dan bersembunyi di luar negeri. Negara yang dianggap paling mungkin adalah Belanda dan Australia. Dugaan negeri Belanda, karena ia punya beberapa kawan di Belanda dan pernah mendapat penghargaan dari Wertheim Stichting. Sementara dugaan ke Australia, karena Thukul dekat dengan kelompok ASIET yang di pimpin oleh Max Lane, dan dikenal dekat dengan para aktivis PRD.
Teori ini juga sangat lemah dan gugur dengan sendirinya ketika Max Lane dari ASIET di Australia justru terus mempertanyakan nasib Thukul. Begitu juga kontak-kontak PRD di Eropa menyatakan tidak pernah melihat kehadiran Thukul di sana. Kalaupun Thukul di Eropa dan Australia, untuk apa ia disembunyikan juga disana? Bukankah ia akan menjadi juru kampanye yang baik bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Ketika saya Ke Eropa pada bulan Oktober 1998 dan ke Australia pada bulan November 1998, tidak ada satu kontak PRD pun disana yang menyatakan pernah menerima Thukul, justru mereka ingin tahu tentang keberadaanya, karena masih ada yang menduga Thukul masih disembunyikan oleh PRD.
Teori Ketiga, bahwa Thukul masih hidup dan hanya Sipon istrinya yang tahu tempat ersembunyiannya. Menurut teori ini sikap anak-anak Sipon dan Sipon yang tenang menunjukkan bahwa mereka sebetulnya tahu Thukul masih hidup. Teori ini gugur ketika saya bertemu Sipon langsung menjelang pemilu tahun 1999 dirumahnya. Sebetulnya ia sendiri bingung, sedih dan cemas dengan menghilangnya Thukul ini. Tentang anak-anak nya yang kelihatan tenang, itu juga tidak betul. Menurut Sipon, kedua anaknya selalu gelisah menunggu kepulangan bapaknya yang tidak pasti. Teori ini gugur sama sekali ketika Sipon, sebagai istri Thukul, melaporkan hilangnya Thukul ke Kontras pada tahun 200 lalu.
Teori Keempat; bahwa Thukul berinisiatif sendiri untuk tidak menampakan diri sampai saatnya yang ia anggap tepat. Menurut Munir, Koord. Kontras “ beberapa kawan terdekatnya pun meyakini Thukul tidak mengalami penghilangan orang secara paksa, tapi Thukul memilih pilihan untuk tidak pernah muncul” (Kata Pengantar, Aku Ingin Jadi Peluru, Jakarta 2000). Sementara menurut rumor lainnya Wiji Thukul dalam keadaan luka parah dan kedua matanya telah buta dan ia belum siap menerima kondisi tersebut atau merahasiakan kondisinya supaya jangan diketahui keluarganya. Beberapa rumor bahkan berkembang bahwa Thukul sekarang menjadi buruh di Tangerang, karena memang Thukul pernah mengorganisir buruh disana setelah PRD dilarang. Adapula rumor bahwaThukul pernah terlihat makan disebuah warteg di sekitar Matraman. Semua teori ini juga gugur dengan mudah. Sebab Wiji dikenal orang yang sangat disiplin dalam hal berkoordinasi dengan kawan-kawannya. Selain itu Thukul juga terbukti tidak pernah mengontak istrinya yang ada di Solo dan Jaap van Eerklens, perwakilan KITLV di Indonesia yng menjadi sehabat baiknya.
Teori Kelima, yang lebih merupakan kesimpulan politik, bahwa Thukul diculik dan dihilangkan dalam suatu operasi politik yang dilakukan oleh pihak militer seperti kawan-kawan PRD lainnya yang sampai hari ini tidak pernah kembali. Teori ini diyakini oleh para pengurus PRD, istinya Sipon dan Kontras. Teori ini paling mungkin, sebab sepanjang sejarah perjuangan politiknya Thukul selalu tak kenal lelah menentang kediktatoran Soeharto dan kekuasaan militeristiknya. Apalagi ia aktif dalam PRD, parti kiri yang selalau menjadi kambing hitam penguasa militer. Sebab jelas sekali Mayjen Prabowo pernah menyatakan bahwa target utama penculikan adalah aktivis PRD. Bila teori ini memang betul, maka nasib Thukul akan sama dengn nasib para aktivis lainnya yang sampai sekarang masih menghilang. Sekarang ini, semua perdebatan diatas mungkin sudah tidak relevan kita bicarakan. Namun sebagai sebuah fakta ia wajib dipaparkan agar semua orang tahu, bahwa menghilangnya Thukul melahirkan suatu polemik, rumor dan kesimpulan yang beragam. Setiap orang yang bersimpati atau berhubungandengan Thukul mengembangkan teori dan intuisinya sendiri-sendiri untuk dapat menemukan Wiji Thukul. Dan ternyata sampai hari ini, satu-satunya kebenaran yang harus diyakini adalah bahwa Thukul masih menghilang sampai sekarang ini.
Solidaritas Untuk Thukul
Sangatlah mengherankan, solidaritas untuk Wiji Thukul sangat kecil dari lingkungan para seniman mainstream di Indonesia. Para seniman ‘terkenal’ di Indonesia seakan mengangap hilangnya Thukul seperti sebuah cerita fiksi belaka, bukan kenyataan yang bisa menimpa seorang seniman. Dalam sejarah Indonesi ratusan para seniman yang bergabung dalam LEKRA pernah dipenjara, disiksa dan menghilang begitu saja dalam arus pembantaian besar diantara tahun 1965-1966. Rakyat Papua juga masih ingat ketika seniman kerakyatan mereka Arnold SP dibunuh oleh aparat militer dengan tuduhan terkait dengan OPM. Dan di awal reformasi tentu para seniman kerakyatan di Solo danYogyakarta masih ingat dengan kematian Gilang, seorang pengamen dengan luka tembakan dan mayatnya ditemukan di sebuah hutan.
Solidaritas dari lingkungan pekerja seni pertama kali muncul dari kelompok Taring Padi di Yogyakarta. Taring Padi adalah suatu komunitas kebudayaan yang secara tegas menyatakan visi kerakyatannya dalam menentang berbagai jenis penindasan yang dilakukan atas nama kapitalime, imperiaslime/neoliberalime, militerisme, rasialisme, agama, jender, politik dan ideologi. Kelompok Taring Padi mengedarkan sebuah petisi dan pembacaan puisi-puisi Wiji Thukul sebagai tanda solidaritas.
Pada tahun 2000 kawan-kawan pekerja seni di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur mengadakan suatu acara untuk mengkampanyekan hilangnya Wiji Thukul dengan suatu paket acara yang disebut “Thukul, Pulanglah” Para seniman diberbagai kota mengadakan serangkaian acara pembacaan puisi Thukul, kesaksian dasi Sipon, malam dana dan kegiatan kebudayaan lainnya dengan fokus untuk mengkampanyekan Wiji Thukul. Menurut Sosiawan Leak, salah seorang pemrakarsa acara ini ,Thukul masih hidup. “ kalau sudah mati pasti ada kuburnya. Kalu kuburnya belum ketemu artinya Thukul masih hidup.” (Pantau, September 2001)
Solidaritas internasional juga bermunculan dari berbagai lembaga hak asasi di dunia. Amnesty Internasional dan Tapol yang berpusat di London memasukan Thukul dalam katagori orang yang dilangkan secara paksa dan menjadi tanggung jawab negara untuk menemukan dan membuat pengakuan tentang keberadaannya. Di Australia ASIET melakukan kampanye terhadap hilangnya Thukul dan banyak menterjemahkan puisi-puisi Thukul ke dalam bahasa Inggris. Dalam majalah Inside Indonesia yang terbit di Australia seorang penulis bahkan menulis dengan judul ‘Where is Wiji Thukul?” (II, N0 63, Jul-Sept 2000)
Dari semua solidaritas tersebut, persahabatan Thukul dengan Jaap van Eerklens, perwakilan KITLV di Indonesia adalah yang paling mengagumkan. Kepercayaan Thukul pada Jaap dapat ditunjukan dengan kedatangannya untuk menyerahkan beberapa puisinya yang ketika masih menjadi buruan. Bahkan Jaap juga mengirim surat pembaca keberbagai media massa, menanyakan kepada siapa saja yang tahu tentang informasi dan keberadaan Thukul harap menghubungi dirinya. KITLV bersama yayasan Indonesia Tera lalu menerbitkan kumpulan puisi Thukul yang berjudul Aku Ingin Jadi Peluru. Dalam kumpulan puisi ini juga dimuat beberapa puisi Thukul yang diserahkan pada Jaap dan belum pernah dipublikasikan.
Pada tahun 2002 ini solidaritas untuk thukul datang dari Martin Mooij, Presiden Poets of All nations-sebuah lembaga puisi internasional yang menangani festival puisi di berbagai belahan dunia dan berkedudukan di Belanda. Dalam acara Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 ia menyatakan solidaritas kepada Thukul dan keluarganya. Ia menganjurkan para seniman agar membuat sebuah petisi yang ditujukan kepada Human Rights Watch dan Index of Cencorship. “Tidak hanya Wiji Thukul saja, para seniman yang lain juga perlu mendapat perhatian secara kelembagaan karena secara pribadi saja tidak cukup.” (Kompas, 12 April 2002).
Harapan Sipon
Sudah lebih dari empat tahun peristiwa penculikan Wiji Thukul dan aktivis PRD lainnya berlalu, namun titik terang tampaknya belum ditemukan. Tiga presiden sudah berganti, namun kepastian tentang keberadaan korban penculikan dan tanggung jawab dari negara belum nampak. Pemerintahan Megawati sendiri tampaknya tidak dapat diharapkan dapat membuat harapan keluarga korban penculikan menjadi lebih optimis. Sikapnya yang pendiam dan kedekatannya secara politik dengan militer membuat banyak kalangan melihat pemerintahannya tak lebih dari benteng untuk melindungi konsolidasi dan kepentingan politik militer.
Namun Sipon, istri Thukul tampaknya tidak kenal menyerah untuk mengetuk hati pemerintahan Megawati. Menurut Sipon, Megawati tidak boleh melupakan persoalan orang hilang, sebab penghilangan para aktivis tersebut terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996, dimana para aktivis PRD, termasuk Thukul menjadi buronan politik.” Tolong, bantu kami menanggung beban ini dan jangan jadikan Indonesia bukan negara hukum, melainkan negara penculikan dan penghilangan orang," ujar Sipon di depan anggota DPR. (Kompas 31 Agustus 2001)
Sampai hari ini, Sipon terus melanjutkan kehidupannya di kampung kalangan dengan dua anaknya yang sudah beranjak remaja dengan pekerjaan menjahit dan menyablon yang tetap ia kerjakan untuk mencari nafkah. Sepintas ia seperti menjalani kehidupan normal namun bila menyangkut Thukul ia berkata." Setiap ibu pasti mengerti rasanya ditangisi anak-anak. Selama lebih dari tiga tahun ini saya selalu ditangisi kedua anak saya yang menanyakan di mana bapaknya” (Wilson/Mei/2002)

*Untuk mengenang Wiji Thukul seniman kerakyatan, pejuang demokrasi dan seorang ayah yang telah memberikan segalanya untuk Demokrasi.

Tidak ada komentar: